ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
STIGMA China atau RRT
sebagai negara komunis, tak beragama bukan lagi hal baru. Karena kenyataannya
negara berpenduduk terbanyak di dunia tersebut - dengan jumlah 1,4 miliar
manusia itu, mengadopsi ideologi komunis.
Dan statusnya sebagai negara komunis, dilakukan
secara terbuka, terang-terangan dan tidak dengan main petak umpet.
Jadi tak lagi terlalu mengagetkan jika saat ini
ada yang menyebut-nyebut bahwa kita di Indonesia harus mengantisipasi ancaman
bahaya komunis dari China.
Tapi yang terbaru sebetulnya adalah pandangan yang
menempatkan China Komunis sebagai kekuatan ekonomi baru dunia, yang memiliki
nafsu menjajah ke berbagai negara. Satu negara yang menjadi incerannya
disebutkan adalah Indonesia.
China Komunis ternyata lebih ditakuti ketimbang
Amerika yang kapitalis dan liberal. Setidaknya ketakutan itu sedang menyapu
sejumlah warga Indonesia.
Kekhawatiran atas komunisme semakin bertambah,
sebab Komunis Tiongkok atau China Komunis ini, ketika masuk untuk menjajah
Indonesia diperhitungkan lebih mudah masuknya.
Sebab mereka bakal
disambut warga China khususnya para konglomerat China yang sudah punya basis
kuat di Indonesia. Mereka masuk ke Indonesia disambut dengan hamparan karpet
merah.
Sehingga jadilah Indonesia, menurut versi tersebut
sebagai negara merdeka yang dijajah oleh komunis dan konglomerat China.
Maka lengkaplah sudah semua penderitaan Indonesia.
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi menjadi
jajahan dari negara yang tidak beragama.
Kemudian negara yang tidak beragama ini
berkolaborator dengan konglomerat. Sementara para konglongerat ini kurang
bersahabat dengan masyarakat lokal yang beragama Islam.
Jadilah Indonesia sebuah negara jajahan terbesar
di dunia oleh China. Akhirnya muncullah isu SARA.
Indonesia tak lagi menjadi tuan di negerinya
sendiri.
Dan menariknya lagi, stigma itu ditarik-tarik ke
arah Istana. Yang dituju adalah Presiden Joko Widodo, pemimpin Indonesia.
Bekas Walikota Solo ini malah makin dikesankan
oleh sementara kalangan sebagai pemimpin Indonesia yang perlu dicurigai. Karena
Jokowi digadang-gadang atau boleh jadi juga seorang agen komunis.
Stigma itu kini makin sering muncul di media-media
sosial yang sekaligus mengaitkan bahwa Joko Widodo sebagai Presiden RI yang
kini lebih dekat dengan RRT atau China.
Persahabatan Presiden Joko Widodo dengan semua
kalangan, perlu diwaspadai. Semua langkah dan keputusan Presiden Joko Widodo
harus dianalisa secara tajam.
Kedekatannya dengan Ahok, Basuki Tjahaja Purnama,
tak ketinggalan dicurigai. Ahok disebut-sebut akan berpartner dengan Jokowi
dalam Pilpres 2019.
Pokoknya isu China Komunis, Konglomerat China,
SARA dan Freeport bercampur baur.
Stigma ini kemudian makin menyebar bersamaan
dengan terjadinya perseteruan antara CEO Freeport McMoran dengan pemerintah
Indonesia.
Yang dihembus-hembuskan bahwa sikap Indonesia yang
konfrontatif terhadap CEO dari Amerika
itu, karena di belakang
Joko Widodo sebetulnya sudah menunggu investor China atau RRT. Yang sewaktu
waktu ingin me-nyam-nyam Freeport.
Sebetulnya letih membaca postingan dan perdebatan
yang membahas soal Freeport dari perspektif komunis dan non-komunis.
Apalagi intinya menggiring
dan di"framing" serta di"plotting" bahwa ada pertarungan
antara Naga (China Komunis) dengan Robot Raksasa (Amerika Kapitalis).
Tapi yang cukup menarik sebetulnya adalah China
yang dalam kasus Freeport ini sedang dikesankan sebagai investor yang jauh
lebih buruk ketimbang pemodal asal Amerika.
Sementara benar tidaknya China tertarik membeli
atau mengambil alih Freeport masih bersifat rumor. Bahkan mungkin juga hoax.
Sebab nyatanya tak pernah ada pengumuman soal itu.
Sebagai pengamat, saya hanya bisa tersenyum dengan
keadaan seperti ini. Sambil rasa penasaran yang muncul, saya pelihara.
Siapa sebenarnya pengendali mesin propaganda yang
menyebarkan opini seperti ini di media sosial?
Saya tidak percaya serangan media sosial kepada
Presiden Joko Widodo baik dalam perseteruan dengan Freeport maupun citranya
sebagai seorang pemimpin yang dekat dengan komunis, terjadi begitu saja.
Lagi pula menempatkan China sebagai pengusaha
ataupun penguasa buruk sambil memoles bahwa investor AS itu lebih baik bagi
Indonesia, jelas sangat tidak sehat.
Yang terjadi di persaingan dunia saat ini
sebenarnya adalah kemampuan AS dalam hampir semua bidang sudah disaingi oleh
China. China sebagai raksasa ekonomi baru, itu sebetulnya yang lebih tepat.
Tidak percaya? Coba ke Shanghai, salah satu kota
bisnis terbesar di daratan Tiongkok. Jika anda sudah pernah ke daratan Amerika
lalu ke Shanghai, baru bisa melihat perbedaan atau persamaan RRT dan AS.
Di Shanghai misalnya digelar setiap tahun
kejuaraan olahraga bergengsi di dunia dengan hadiah juara jutaan dolar. Apakah
itu golf, olahraga yang sebelumnya didomniasi AS atau tennis lapangan maupun
Formula One.
Kalau golf dijadikan ukuran, jelas itu bukan
budaya atau permainan orang-orang komunis. Golf awalnya disebut sebagai
olahraga orang bourjois. Musuh komunis.
Sepakbola profesional. China saat ini sedang
merekrut banyak pemain asal Liga Eropa. Klub China bisa menggaji sampai Rp. 2
miliar per minggu per pemain.
Oscar, pesepakbola Brasil yang merumput di
Chelsea, London, sudah hengkang ke China.
Selain itu pengusaha China - dan mereka komunis,
juga mulai membeli klub-klub sepakbola. AC Milan, salah satu klub raksasa
ternama di Itali, sebagian sahamnya sudah jatuh ke tangan pengusaha China
Komunis.
Di luar itu semua, satu hal yang pasti, China Komunis
sudah membuktikan, ketika Hongkong dikembalikan oleh Inggris pada 31 Juli 1997,
koloni itu tetap dipertahankannya seperti ketika masih dikuasai Inggris.
Ketakutan Hongkong akan menjadi negara dengan dua
sistem, dimana komunis yang dominan, tidak terbukti. Semakin kuat lagi contoh
ini, karena Makau yang dulunya dikuasai Portugis, kini sudah menjadi bagian
dari China Komunis.
Sehingga semua prediksi tentang Hongkong serta
sikap ekspansionis China Komunis, meleset.
Nah jangan-jangan stigma dan persepsi kita tentang
China Komunis juga meleset.
Atau kecemburuan kita terhadap warga China yang
sukses seperti Salim Group, Sinar Mas, BCA, Djarum dan sebagainya, kita
campuradukkan dengan persoalan China Komunis. Air dan minyak yang sama-sama
cair, kita masukkan dalam mesin analisa.
Atau ketidaksukaan terhadap Ahok BTP yang tidak
bisa menjaga mulutnya, telah berimbas keluar dari konteks Freeport.
Karena pada hakekatnyam siapapun yang mengelolah
Freeport, jelas punya agenda ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Persoalan kita dalam konteks Freeport, sebetulnya
bukan China atau Amerika. Tetapi siapa investor yang bisa memberi porsi benefit
lebih besar.
Kalau itu yang menjadi tujuan, yah Freeport tetap
dikelolah oleh McMoran pun tak masalah. China, Korea, Rusia atau India yang
masuk ke Tembagapura, juga tak jadi soal.
Masalah timbul, karena McMoran berusaha mendikte
semua keinganannnya.
Dan yang membuat persoalan menjadi rumit agenda
McMoran itu diterjemahkan oleh orang-orang yang dipercaya Jokowi yang bermanuver
sesuai kepentingan dan agenda mereka.
Singkatnya persoalan yang gampang dipersulit dan
yang sulit semakin dipersulit. [***]
Penulias adalah wartawan senior
Judul tulisan: Dilema "Freeport", Jokowi Pro Ke
China Komunis?
Sumber : kabarpolitik86
0 Response to "Wartawan Senior : Dilema "Freeport", Jokowi Pro Ke China Komunis?"
Posting Komentar